"Bagaimana, bila akhirnya ku cinta kau?"
"Bagaimana,
bila semua benar terjadi?"
"Begitu
banyak bintang."
"Seperti
itulah pertanyaanku, tentang kamu..."
Keping demi keping es berjatuhan, mencair menjadi titik air
akibat perbedaan suhu, dan turun membasahi bumi. Pagi ini terasa sangat
berbeda. Ini hari pertamaku meninggalkan rumah yang sangat kucintai dan tinggal
dalam rumah baruku di tengah kota. Goresan demi goresan masa kanakku kembali
melayang dalam otak. Meninggalkan tempat yang penuh kenangan, apalagi masa
kecil memang terasa sangat berat. Namun, aku harus tetap melanjudkan hidupku.
Masih banyak yang belum kubahagiakan. Terutama orang tuaku.
Selayaknya anak kelas 3 SMP lainnya dipagi hari, aku mulai
bersiap siap menuju ke sekolah. Melewati 6 jam setiap harinya dalam hidupku
(Kecuali hari minggu :D) berkutat dengan buku, pulpen, guru, stipo terkadang,
dan teman. Setelah semuanya siap, dan penampilanku juga mendukung ke sekolah
karena sudah mandi dan pakaian, akupun pamit.
"Ibu, Feya kesekolah dulu ya bu. Assalamualaikum"
ucapku sembari mencium pipinya lalu berlari ke ayah yang menungguku diluar.
Siap mengantarku ke sekolah.
Pekarangan sekolah terlihat cukup sepi. Mungkin aku datang
terlalu pagi atau mungkin siswa lainnya malas beranjak dari tempat tidur mereka
yang hangat dan nyaman karena hujan semalam. Terserah. Aku lalu melewati taman
parkiran, berbelok ke kiri lalu menapaki anak tangga demi anak tangga, dan
berjalan menuju kelasku. Sesampainya di depan pintu, terlihat seorang anak
laki-laki yang duduk di meja guru menghadap ke pintu kelas, menghadap ke aku.
Sedetik, mata kami bertemu. Pancarannya yang diterima oleh retina langsung
diubah menjadi sinyal dan dikirimkan ke otak, otak meresponnya dengan
'menyuruh' jantung mempercepat denyutnya. Sedetik itu juga, hatiku
berdebar. Ada apa?. Aku memilih untuk tak peduli. Aku langsung
berjalan ke bangkuku yang terletak di baris kedua dari depan. Tak ingin
seorangpun mencurigai apa yang terjadi sedetik tadi.
Selama jam pelajaran pertama, kepalaku tak dapat
berkonsentrasi. Ku tolehkan kepalaku ke belakang, melihat apa yang
dikerjakan anak laki-laki tadi. Dia yang kuperhatikan juga tak meperhatikan
penjelasan guru sepenuhnya. Yang dilakukannya hanya, menggangu teman
sebangkunya, lalu berbalik menghadap ke papan tulis dan memainkan pulpennya,
seolah-olah dia tidak melakukan apapun kepada temannya tadi. Hmm, manis pikirku.
Sesaat, jantungku berdegup kencang lagi. Ada apa dengan jantungku?
Mengapa tiap kali melihat dia, jantungku berdegup kencang? Kamu pengen bilang
apa ke aku, jantung? dalam hati ku katakan itu.
Sepanjang jam pelajaran selanjutnya, tak ada sekalipun kata
guru yang masuk dalam pikiranku. Yang ada diotakku hanya tentang dia. Tentang
anak laki-laki itu. Sesekali aku menoleh ke arahnya. Mungkin karena aku terlalu
sering melihatnya, Hanny -teman sebangkuku- menyikutku. Aku kaget.
"Sering banget ngeliat ke arah dia?" Ucapnya.
"Hmm, enggak kok"
"Trus, kenapa kaget pas aku sikut? Cieee, suka ya sama
dia?" ucapnya sambil menunjuk ke arahku dan dia. Aku terdiam. Mungkinkah?
Mungkinkah ku suka dirinya. Perasaanku tak menentu. Aku tak bisa menebaknya.
Mengapa, baru sekarang aku menyukainya? Mengapa
harus dia? Mengapa dia? Mengapa? Aku sadar. Aku menyukainya. Akhirnya, cinta
datang kehati yang dingin ini pertama kalinya, mencairkan es yang berada di
dalamnya.